Jumat, 17 Mei 2013

Goresan Yang Meleset

www.shartlina.wordpress.com          "Dia itu terlalu berani. Kasihan sekali. Sayang crayonnya. Lihatlah bagaimana dia mewarnai. Kukira seenak jidatnya dia memulas."
          "Mungkin belum bisa mewarnai. Jadinya sekenanya."
          "Hey! Lihat! yang itu sangat mirip orang Kliwonan. Tapi aku lupa siapa namanya."
          "Dia tidak berbakat."
          seruan-seruan itu terngiang di pikiranku. kalang kabut aku menepis semua. Tetapi tidak bisa. Telingaku terlanjur merah karenanya. Tidak tahukah bahwa aku bersusah payah mengumpulkan segenap konsentrasiku untuk melukis? Supaya mirip bung Karno. tetapi itu susah.Terlalu malah.
          Angin alun-alun masih menggoyangkan rerumputan. Menggoyangkan pula pohon beringin tempat pelukis-pelukis muda berteduh. Terpaanya membuat kesejukan dan memberikan rasa nyaman tak terkira. Teta[i ternyata semua itu tidaklah meresap melalui pori-poriku. Tubuhku panas. Dab mungkin cairan telah menguap. Membuat bibirku kering dan aku mulai kehausan.
          Dalam lelah dan sebuah rasa kehausan yang menyiksa, terus kugoyangkan jemari tanganku. Menghayati setiap garis yang kutarik dan setiap warna yang kupadukan. Membentuk gradien warna nan elok. Itu menurutku. Menurutku yang menghargai buah karyaku sendiri.
          "Ingat dua pesan bapak sebelum kau melukis. pertama, kau harus berdoa. Berdoa supaya kau diberi kemudahan dalam mengerjakannya. Jangan lupa tenangkan pikiranmu. Kedua kau harus meminta maaf. Karena kau menggambar orang. Minta maaflah. Karena kau pasti banyak melakukan kesalahan. Minta maaf kepada-Nya." Begitu pesan bapakku yang menjadi patokan di setiap goyangan alat pewarnaku kini.
          "Waktu habis...."
          Dua kalimat itu membuat aku layaknya kesetrum. Aku kalap. Dengan terrgesa-gesa kuayunkan crayon ke atas. Menumpahkan segala kegelisahan. Lalu kugesekkan kepada gambarku. Hingga semuanya tertutup gradien warna.
          Hingga detik-detik itu berlangsung ketika panitia mengucapkan selamat beristirahat. Aku melihat seorang pemuda berpembawaan tenang dan berpakaiaan rapi. dugaanku, dialah pemuda yang dipuji-puji penonton. aku sempat memandangnya lama. Dan saat itu aku membenamkan wajah di atas lutut di pojokan alun-alun. sku terlalu cemas menantikan pengumuman.
          Tak lama kemudian pengumuman dibacakan. Hatiku berdebar-debar penuh harap. Di kesendirian penuh harap. Dan nama demi nama terucap dengan tegas. Tak ada namaku. Pemuda itu terrpilih menjadi juara. Dia mencari jua keberadaanku. Tatkala menemukan diriku bersimpuh sendiri di bawah pohon yang tak kutahu namanya, dia tersenyum. Senyum yang membuatku luka.
          Jarak antara aku dan harapanku terbentang jauh. Dan kurasakan keramaian menjadi sunyi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang. Hanya tertinggal satu dua pedagang menyaksikan kepedihanku. Dan angin datang mencoba menghibur. Dengan langkah gontai aku bangkit dan berjalan. Kulihat sekali lagi pemuda dengan kemenangannya. Dia memperhatikanku. Oh! Dengarlah, aku meratap penuh kecewa.


@saat itu aku mainan hp pura-pura sms-an. gengsi sih diliatin orang.heheheheh@